Pembagian Hukum Canda Menurut Syari’at Agama Islam.
Canda merupakan perbuatan yang disyari’atkan, sebagai buktinya, bahwa Nabi saw bercanda kepada para sahabat r.a. akan tetapi, kadang kala hukumnya mustahab (dianjurkan), mubah, makruh, atau bahakan haram.
1. Canda Yang Mustahab
An-nawawi r.a. menyatakan bahwa canda hukumnya mustahab, sebagaimana akan saya kemukakan, insya Allah.
Perlu dijelaskan bahwa hokum ini berlaku apabila terkandung maslahat dalam canda tersebut, seperti untuk menyenangkan orang yang di ajak bicara dan mengakrabkan hubungan dengannya. Seperti canda Rasulullah saw kepada Abu ‘Umair tatkala seekor nughair (sejenis burung pipit) kesayangannya mati. Pada waktu itu, Nabi saw bertanya kepadanya:
يَا أبَا عُمَيرٍ مَا ذَا فَعَلَ النُّغَيْرِ
Tampak disini bahwa Nabi saw berusaha menghibur Abu ‘Umair dan menunjukkan keakraban dengannya. Canda seprti inilah yang dihukumi mustahab.
2. Canda Yang Makruh dan Haram
Canda yang dilarang ada dua macam. Pertama, canda yang haram, yaitu canda yang mengandung unsur pelecehan terhadap agama. Tentang canda ini, Allah swt berfirman:
وَلَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوًا….
“…..janganlah kamu jadikan ayat-ayat (hukum-hukum) Allah sebagai bahan ejekan (permainan/senda gurau)…” (QS. Al-Baqarah 231)
Kedua, canda yang makruh, yaitu canda dalam perkara yang hukumnya mubah tapi dilakukan dengan intensitas yang tinggi (sering sekali).
3. Canda Yang Mubah
Apabila suatu canda tidak mengandung maslahat, tetapi pada waktu yang sama ia bersih dari unsur-unsur yang diharamkan atau yang dimakruhkan, maka canda ini hukumnya mubah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar r.a. berkata: “canda yang dilarang adalaha canda yang dilakukan secara berlebihan atau terlalu sering. Sebab, canda seprti itu dapat membuat pelakunya lalai dari mengingat Allah dan terlena dari memikirkan berbagai hal penting di dalam agama.
Canda yang demikian kerap mengeraskan hati, menyakiti perasaan dan menimbulkan kedengkian orang lain, serta menghilangkan kewibawaan dan kehormatan diri. Adapun canda yang bersih dari semua itu, hukumnya adalah mubah. Bahkan, jika ia mengandung maslahat, seperti mampu menyenangkan hati orang yang diajak berbicara dan mengakrabkan hubungan, maka hukumnya adalah mustahab.”