BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Aswaja merupakan mata pelajaran khusus bagi satuan pendidikan tertentu. Pembelajaran Aswaja diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa visi Aswaja adalah untuk mewujudkan manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, etis, jujur dan adil, berdeisiplin, toleransi, menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya Ahlussunnah wal Jama’ah (amar makruf nahi munkar).
Aswaja merupakan salah satu mata pelajaran yang dalam kajiannya merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam tahap pemahaman Aswaja menggunakan cara logis dan rasional, karena mengaitkan materi dengan pengalaman peserta didik dalam kehidupan sehari-hari bukan dengan dogmatis dan doktrin tertentu. Pembelajaran Aswaja juga bertujuan untuk mendorong peserta didik supaya mendalami dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal Jama’ah, yang diharapkan nantinaya akan lahir generasi-generasi kiyai yang unggul serta mampu menjadi pilar-pilar kokoh dalam mensyi’arkan Islam ditengahtengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tawasut, tawazun, tasamuh.
B. Rumusan masalah
a. pengertian aswaja
b. asal-usul aswaja
c. sejarah madzhab al-asy’ari
d. sejarah madzhab al-maturidi
C. Tujuan pembahasan
Makalah ini dibuat brtujuan agar pembaca mengetahui makna dari apa yang dimaksud ASWAJA serta mengetahui pengertiannya baik dari prespektif bahasa atau istilah dari ASWAJA tersebut. Kemudian bisa mengetahui asal-usul ASWAJA. Dan termasuk tujuan dari makalah ini juga pembaca diharapkan mengetahui sejarah madzab ‘asy’ari dan madzhab al-maturidi. Dengan harapan pengetahuan yang didapat dari apa yang tertulis di mkalah ini menjadi sesuatu yang manfaat dan memanfati baik bagi penulis ataupun yang membacanya. Semoga Allah memberkahi. Amiin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aswaja
a. Pengertian secara bahasa
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-jama’ah. Ada tiga kata yang membentukistilah tersebut, yaitu:
Ahl yang mempunyi beberapa arti, yakni: keluarga, pengikut dan penduduk.
As-sunnah yang secara bahasa bermakna at-thariqah wa lau ghairu mardhiyyah (jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak di ridhai).
Al-jama’ah, berasal dari kata al-jam’u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagai ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai. Kata jama’ah juga berasal dari kata ijtima’ (pekumpulan), yang merupakan lawan kata furqah (perpecahan). Jama’ah adalah kelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, jama’ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan.
b. Pengertian secara istilah
Menurut istilah, sunnah adalah thariqah atau metode Nabi Muhammad SAW. Ibnu rajab Al-Hambali menyebutkan, maksud sunnah menurut ulama’ adalah jalan yang di tempuh Nabi dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (subhat) dan syahwat. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الرا شدين من بعدي
“ikutilah sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin setelahku”
Dalam al-hguyah Syaikh Abdul Qadir Al- Jailani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
فالسنة ما سنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
“As-sunnah adalah apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW, meliputi (ucapan, perilaku, ketetapan beliau)”
Dengan begitu, orang yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad saw dan sahabat itulah yang di sebut ahlussunnah wa al-jama’ah. Sedangkan orang yang menolak ajaran sahabat, tentu tidak masuk kategoti ahlussunnah wa al-jama’ah.
B. asal-usul Aswaja
Ketika kita mencari tau tentang Ahlus sunnah wal Jamaah, pasti intinya akan berujung kepada sebuah paham bahwa ahlussunnah adalah kelompok Asya’irah (nama golongan pengikut Asy’ari) dan Maturidiyah (nama kelompok golongan maturidzi), seperti apa yang di sampaikan ulama seperti Ibnu hajar al-Haitami dan az-Zabidi dalam kitab It-hafu Sadatil Muttaqin-nya
إذا أطلق أهل السنة هم أشاعرة و الماتريدية
Ketika diucapkan Ahlussunnah maka mereka adalah kelompok Asy’ari dan Maturidzi.
Yang menjadi pertanyaan sekarang kenapa hanya Asya’irah dan maturidziyah yang mendapat label Ahlussunnah? Kalau memang hanya mereka, lalu bagaimana dengan status ulama-ulama yang hidup sebelum zaman Asya’irah dan Maturidiyah?, ada baiknya jika kita liahat sejarah awal.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ajaran ahlussunnah sendiri adalah apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada para Shahabat, setelah itu para Shahabat menyampaikan semua yang mereka dapatkan dari Rasul secara keseluruhan kepada penerusnya yaitu tabi’in, kemudian kepada tabi’it tabi’in, meskipun saat itu masih belum dinamakan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah karna memang saat itu islam masih satu.
Kemudian muncullah beberapa sempalan Aqidah atau keyakinan yang berbeda dan menyalahi ummat islam kebanyakan dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in. Munculnya sempalan atau sekte tersebut tidak lain karna penafsiran yang berbeda pada apa yang telah disampaikan Rasulullah, mereka mengambil satu nash dari al-Qur’an atau Hadits dan meninggalkan nash yang lain, sehingga apa yang mereka pahami tidak sama dengan apa yang para Shahabat pahami dari Rasul.
Sempalan pertama terjadi di masa kekhalifahan sayyidina Ali Ra. Ada dua saat itu, Khawarij dan Rafidlah (Syiah) kemudian setelahnya muncul beberapa sekte-sekte dalam islam. Sayyidina Ali dan Sayyidina Abdullah bin Abbas maju untuk meredakan dua sempalan tersebut dengan mendebat mereka.
Kemudian setelahnya muncullah beberapa sekte, diantaranya : Murji’ah, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, Jahmiyah, Hasyawiyah. Namun yang paling menonjol saat itu adalah Muktazilah, karena mereka menunggangi penguasa sebagai penyebar paham mereka, dan penyebaran paham yang menggunakan nalar pikiran sangat nyaman diperbincangkan oleh semua kalangan.
Sebelum kemunculan Imam Asy’ari para ulama yang membawa ajaran Rasul disebut al-Mutsbitun, kemudian muncullah Imam Asy’ari sebagai pribadi yang tumbuh dalam didikan pemimpin Muktazilah, berbalik membasmi Muktazilah dan menolong ajaran Ahlussunnah.
Beliau berdakwah membasmi Muktazilah di Negri Bashrah,dengan menggunakan metode yang sama dengan Muktazilah yaitu menjadikan pikiran sebagai hakim, namun Imam Asy’ari hanya menggunakan akal fikiran untuk membantu dan memperkuat dalil Naqli (al-Qur’an dan al-Hadits) tidak seperti muktazilah yang mengedepankan akal dari pada nash ketika terjadi pertentangan antara keduanya,Dan metode Imam Asy’ari terbukti ampuh untuk membasmi aqidah Muktazilah sampai ke akar-akarnya.
Di tempat yang berbeda ada Imam Maturidzi meneruskan apa yang di bawa oleh Imam Hanafi dalam Fiqh al-Akbarnya, beliau berjuang mendebat sekte-sekte menyimpang dengan Aqidah Ahlussunnah di Negri Samarkand Uzbekistan.karena mereka berdua terbukti bisa membasmi aliran Muktazilah, maka sekarang Ahlussunnah dinisbatkan kepada Asya’irah dan maturidziyah. demikian sekelumit tentang Asal Usul ASWAJA atau Ahlussunnah wal Jamaah, semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca terutama penulis sendiri.
C. Sejarah Madzhab al-Asy’ari
Madzhab al-‘Asy’ari adalah madzhab teologis yang di nisbatkan kepada pendirinya, al-Imam Abu Al-Hasan al-‘Asy’ari. Madzhab ini diikuti manyoritas kaum muslimin Ahlussunnah Wa al-jama’ah dari dulu hingga saat kini. Manyoritas ulama dari berbagai kalangan seperti ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadist,ahli teologi, ahli bahasa, gramatika, sejarah dan lain-lainadalah pengikut madzhab al-‘Asy’ari.
Namun demikian dewasa ini sering ada pernyataan dari beberapa kalangan, baik melalui buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah,maupun melalui media publikasi lainnya, yang mengatakan madzhab al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal jama’ah. Menurut mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok mereka mereka, meskipun pandangan-pandangan mereka banyak yang menyimpang dari al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat-pendapat ulama salaf. Karena itu, sebelum menguraikan siapa sebenarnya golongan yang layak mewakili Ahlussunnah wal Jama’ah, apakah mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi, atau Salafi-Wahhabi, dan atau Syiah, di sini akan diuraikan terlebih dahulu sejarah mazhab al-Asyari.
a. Lahirnya Mazhab al-Asy’ari
Membicarakan lahirnya suatu aliran, sangat terkait dengan konteks sosial dan pemikiran pada masa aliran tersebut lahir. Karena itu, dalam membicarakan lahirnya mazhab al-Asy’ari, kita harus meneropong konteks sosial dan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya mazhab tersebut.
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari hidup pada paruh kedua abad ketiga dan paruh pertama abad keempat Hijriyah. Periode tersebut menyaksikan beragam peristiwa penting dalam bidang pemikiran yang memiliki pengaruh dominan dalam dinamika ilmu kalam (teologi) secara spesifik, dan ilmu-ilmu keislaman yang lain pada umumnya. Di samping itu, periode tersebut merupakan masa-masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi) ilmu pengetahuan Islam, dengan kebebasan berpikir yang menjadi identitas masa tersebut. Setiap orang berhak mengeluarkan pandangan dan memperkuatnya dengan beragam bukti dan argumentasi. Implikasinya, berbagai aliran pemikiran berkembang begitu pesat dengan meraup banyak pengikut dan pendukung yang membela dan mempertahankannya.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan keislaman pada saat itu ditandai dengan tampilnya ulama terkemuka di berbagai studi keislaman. Di bidang hadits, abad ketiga Hijriyah menyaksikan karya-karya terbaik dalam bidang hadits dan menampilkan ulama-ulama besar yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam bidang hadits sepanjang masa, seperti Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H/810-870 M)-pengarang Shahih al-Bukhari-, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (204-261 H/820-875 M) pengarang Shahih Muslim-, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as Sijistani (202-275 H/817-889 M)–pengarang Sunan Abi Dawud Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi (209-279H/824-892 M)- pengarang Sunan at-Tirmidzi–, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i (215-303 H/830-915 M)-pengarang Sunan an-Nasa’-, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid hi Majah al-Qazwini (209-273 H/824-887 M), pengarang Sunar Ibn Majah, dan lain-lain. Karya-karya mereka dianggap sebagai kitab standar hadits yang enam (al-kutub al-sittah).”37
Dalam bidang fikih, tampil pula para mujtahid terkemuka dan pakar-pakar fikih besar yang mengawal mazhab-mazhab tertentu, seperti Dawud bin Ali al-Ashbihani (201-270 H/816- 884 M) pendiri mazhab Zhahiri, dan anaknya yang bernama Muhammad bin Dawud al-Ashbihani (255-297 H/869-910 M) yang mengawal mazhab ayahnya, Muhammad bin Jarir al-Thabari (224-310 H/839-923 M) pendiri mazhab Jariri, yang memilik karya terpenting dalam bidang tafsir, fikih, teologi dan sejarah.
Dari kalangan pengikut mazhab Maliki, tampil al-Imam Ismail bin Hammad (w. 282 H/895 M). Dari kalangan Syafi’i tampil al-Imam Abu Ali al-Karabisi (w. 248 H/862 M), az-Za’farani (w. 259 H/873 M), Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij (w306 H/918 M) dan Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H/951 M) yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Irak dan Mesir. Dari pengikut Hanbali, tampil pula Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213-290 H/828-903 M).” 38 Dalam bidang tasawuf, abad ketiga Hijriyah menupakan masa terbaik dalam perkembangan ilmu tasawuf. Di mana pada saat itu mulai diperbincangkan aspek-aspek tasawuf yang belum pernah menjadi obyek kajian pada masa sebelumnya, seperti pembahasan tentang seluk-beluk etika, nafsu dan suluk (perjalanan spiritual seorang sufi menuju Allah) dengan lebih mendetail yang belakangan dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal. Kajian kaum sufi saat itu mulai merambah pada persoalan ma’rifat dan metodologinya, kajian tentang tauhid, fana’ dan lain-lain. Pada periode tersebut juga dimulai aktivitas penulisan kitab-kitab tasawuf dengan tarmpilnya tokoh tokoh terkemuka dalam sejarah tasawuf seperti al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H/857 M) yang memiliki banyak karangan dalam bidang tasawuf, Abu Sa’id Ahmad bin Isa al-Kharraz (w. 286 H/899 M, penulis Kitab as-Shidg, Abu al-Qasim al Junaid bin Muhammad al-Baghdadi (w. 297 H/910 M), peletak kaedah-kaedah tasawuf dan ujukan kaum Sunni dalam bidang tasawuf, Muhammad bin Ali al-Hakim at-Timidzi (w. 320 H/932M), penulis Nawadir al-Ushul, Khatm al-Auliya’ dan lain-lain.”
Tetapi meskipun abad ketiga Hijriyah tersebut merupakan masa supremasi keilmuan Islam, bukan berarti kaum Muslimin pada saat itu terbebas dari ancaman dan tantangan. Justru pada saat itu, kaum Muslimin berada dalam ancaman dan tantangan serius dari beragam aliran yang berkembang dengan cukup pesat. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan permyataan Abu al-Ma’ali Azizi bin Abdul Malik Syaidzalah (w. 494 H/1100 M) berikut ini:
“Setelah tahun 260 H berlalu, tokoh-tokoh ahli bid’ah angkat kepala dan
masyarakat awam berada dalam ancaman, bahkan ayat-ayat agama mulai
terhapus bekasnya dan bendera kebenaran mulai terhapus kabarnya.”
Pernyataan Syaidzalah ini menggambarkan telah merebaknya aliran-aliran sempalan dalam Islam pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah. Di antara aliran-aliran bid’ah yang terkuat pada saat itu adalah Mu’tazilah yang merebak hampir di berbagai tempat. Memang pada masa Khalifah al-Mutawakkil (232-247 H/846-861 M), kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah meraih kemenangan secara politis melawan Mu’tazilah dengan disingkirkannya kaum Mu’tazilah dari lingkaran kekuasaan Khalifah. Di tahun pertama pemerintahan, al-Mutawakkil mengeluarkan keputusan pembatalan kemakhlukan al-Quran yang diterapkan oleh tiga khalifah sebelumnya, melarang masyarakat memperdebatkannya dan menganjurkan penyebaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 234 H/848 M, al-Mutawakkil mengeluarkan kebijakan politik yang lebih tegas. Dia melarang membicarakan kemakhlukan al-Qu’ran, mengancam orang yang membicarakannya, menganjurkan para fuqaha dan ahli hadits untuk menyebarkan hadits-hadits seputar sifat-sifat Allah dan keyakinan melihat Allah di akhirat untuk membantah ajaran Mu’tazilah. Pada 237 H/851 M, al Mutawakkil mengeluarkan keputusan yang paling keras, yaitu memberhentikan Ahmad bin Abu Duad-ulama besar Mu’tazilah-dari jabatannya sebagai hakim dan menggantinya dengan Yahya bin Aktsam. Al-Mutawakkil juga menahan tokoh-tokoh Mutazilah seperti Abu al-Walid bin Abi Duad dan saudara-saudaranya, lalu mendeportasi mereka jauh dari istana khilafah.
Namun hingga Khalifah al-Mutawakkil wafat pada 247 H/861 M, pengikut Mu’tazilah tetap merebak di mana-mana. Hal tersebut terjadi, karena sejak kekhalifahan dipegang oleh al-Mutawakkil tahun 232 H/846 M, Daulah Abbasi memasuki masa-masa awal keruntuhannya hingga jatuh ke tangan Tartar pada 656 H/1258 M. Runtuhnya Daulah Abbasi ini ditandai dengan realita politis, dimana jabatan khalifah hanya sebatas simbol, sementara kekuasaan yang sesungguhnya ada di tangan pemerintahan Atrak (orang-orang turkmen) yang berkuasa sejak 232 H/847 M sampai 334 H/948 M. Setelah pemerintahan Atrak tumbang, Daulah Abbasi jatuh lagi ke dalam cengkeraman penguasa Bani Buwaih yang beraliran Syiah dan Mutazilah. yaitu sejak 334 H/948 M sampai 447 H/1055 M. Sampai akhimya Daulah Abbasi benar-benar mengalami keruntuhannya yang paling tragis dalam sejarah di tangan pasukan Tartar yang menginvasi negara-negara Islam pada 656 H/1258 M.
Merebaknya aliran-aliran bid’ah pada abad ketiga Hijriyah tersebut, ditandai dengan menguatnya aliran Mu’tazilah sejak memperoleh dukungan dari tiga Khalifah Abbasi sebelum al-Mutawakkil, yaitu Khalifah al-Makmun (198-218 H/913-833 M), al-Mu’tashim (218-227 H/833-841 M) dan al-Watsiq (227-232 H/841-846 M). Berkat kebijakan ketiga khalifah tersebut yang mengharuskan masyarakat mengakui ideologi kemakhlukan al-Qur’an, ajaran Mu’tazilah tersebar luas di Baghdad, terutama di Baghdad bagian Utara, sampai memasuki rumah-rumah masyarakat awam dan bahkan diikuti oleh banyak kalangan
wanita lanjut usia dan kaum pekerja.”
Ajaran Mu’tazilah Juga merebak di daerah Timur, berkat upaya Washil bin Atha’, pendiri ajaran Mutazilah, yang mengirimkan Hafsh bin Salim, muridnya ke Tirmidz untuk menyebarkan paham Mutazilah di sana. Sehingga sejak saat itu Mu’tazilah mulai merebak di sana hingga akhirnya tersebar di Irak, Khurasan dan negeri seberang Sungai Amudaria di bawah naungan penguasa Bani Buwaih. Menurut al-Maqdisi, ajaran Mu’tazilah dikuti mayoritas masyarakat Syiah di daerah-daerah Ajam, masyarakat awam di Ray, dan mayoritas penduduk Khauzastan. Sedangkan orang-orang Syi’ah yang tinggal di Oman, Sarawat dan sepanjang tepi pantai Bahrain adalah pengikut Mu’tazilah.”
Di daerah Barat, ajaran Mu’tazilah dikuti oleh penduduk Maroko, berkat upaya Washil bin Atha’ yang mengirimkan muridnya Abdullah bin al-Harits, untuk mengajarkan ideologi Mu’tazilah di sana, sehingga beberapa titik di Maroko dan Afrika Utara menjadi pusat penyebaran paham Mu’tazilah seperti Baidha’ Urabah, Tangir, Libli, Aizaraj, Zannatah, Tunis dan Libis dan Libia. Di Maroko, paham Mu’tazilah mendapat dukungan resmi dari Dinasti Adarisah yang berkuasa di sana dari 172 H/788 M sampai 375H/985 M. Dinasti ini didirikan oleh ldris bin Abdullah bin al Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, setelah melarikan diri dari kejaran Khalifah Harun al-Rasyid di Irak.”
Di sisi lain, merebaknya aliran Mu’tazilah juga didukung oleh pengaruh paham Mu’tazilah terhadap aliran-aliran sempalan yang lain. Dalam realita yang ada, beragam aliran sempalan dalam Islam seperti Khawarij, Syiah Imamiyah, Isma’iliyah, Zaidiyah dan lain-lain ternyata mengadopsi metodologi dan ideologi Mu’tazilah. Aliran Mu’tazilah adalah aliran sempalan yang paling dominan dengan banyak tokoh dan pengikutnya. Karena penganut Syiah di lrak secara mutlak adalah juga pengikut Mu’tazilah. Demikian pula penganut Syiah di daerah-daerah India, Pakistan, Syam yang meliputi Syria, Yordania, Lebanon dan Palestina, penganut Syiah di Iran dan penganut Syiah Zaidiyyah di Yaman dalam bidang ideologi mengikuti mazhab Mu’tazilah.” Dermikian pula pengikut aliran Khawarij yang bermazhab Ibadhıyyah yang tersebar di Oman, bagian Timur pantai teluk Persia, bagian timur pantai Afrika di Zanjibar, daerah-daerah di pegunungan Nufusah di Afrika Utara, Aljazair Selatan dan Tunis adalah pengikut Mu’tazilah dalam bidang teologi.
Merebaknya aliran Mu’tazilah pada abad ketiga Hijriyah, secara alami menimbulkan bernturan pemikiran yang sangat keras antara dua pemikiran yang berbeda secara diametral. Yaitu pemikiran yang dikawal oleh kaum Fuqaha dan Ahli Hadits yang perhatiannya dicurahkan untuk menekuni ilmu agama dengan dalil-dalil dan argumentasi yang didasarkan pada tafsir al-Qur’an, hadits, ijma’ dan analogi (giyas). Sementara di kutub lain yang berlawanan secara ekstrim, ada kaum teolog (mutakallimin), yang perhatiannya dicurahkan untuk ‘membela agama’ menghadapi serangan lawan-lawannya dengan menggunakan senjata pihak lawan seperti ilmu dialektika (jadal), logika dan rasio serta mengesampingkan teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagai bukti bahwa gerakan yang dirintis oleh al-Asy’ari memang sangat menjadi kebutuhan yang mendesak pada saat itu, untuk mendamaikan antara Ahlussunnah dengan Mu’tazilah, dengan meletakkan jalan tengah antara keduanya, adalah tampilnya dua ulama besar yang semasa dengan al-Asy’ari, tetapi tempat tinggal mereka sangat berjauhan dan belum pernah saling mengenal, yaitu al-Imam Abu Manshur al-Maturidi al-Hanafi (w. 333 H/944 M) yang tinggal di Samarkand, Uzbekistan, dan al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi al-Hanafi (239-321 H/853-933 M) yang tinggal di Mesir. Keduanya melakukan apa yang telah diupayakan oleh al-Asy’ari, yaitu mengajak kaum Muslimin agar kembali kepada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan memberantas ajaran-ajaran bid’ah, tetapi juga tiaak mengabaikan metodologi baru yang dikembangkan kaum rasionalis. Hanya saja dari gerakan pemikiran keduanya, hanya gerakan al-Maturidi yang mengalami metamorfosa dan berkembang di kemudian hari menjadi sebuah mazhab teologi dalam Islam.” Sementara gerakan pemikiran at-Thahawi melebur ke dalam mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.
D. Sejarah Madzhab Al-Maturidi
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapai paham-paham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapai paham-paham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
Kelompok Samarkand adalah pengikut Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M) di mana paham-paham teologinya lebih dekat kepada Mu’tazilah yang rasional.
Kelompok Bukhara adalah pengikut dari Yusar Muhammad al-Bazdawi (w.1100 M) yang pemikiran-pemikiran teologinya lebih cenderung kepada pemikiran al-Asy’ariyah yang tradisional.
Dengan demikian sejarah perkembangan teologi Islam sebagai fakta dan realita yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran tokoh itu tidak selamanya sama dengan pengikutnya. Dengan kata lain tidak mutlak antara seorang murid dengan gurunya mempunyai pemikiran yang selalu sama.
Dokrit-dokrit Teologi Al-Maturidi menurut Abdul Rozak dan Rosihon Anwar (2016:147-150) antara lain :
Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur’an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al Asyari.
Menurut Al Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya kepada Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya.
Kekuasaan dan kehendak muthlak Tuhan
Perbuatan dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut Al Maturidi bukan berarti dalam hal ini Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang dengan kehendak-Nya semata. Hal ini karena Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya.
Sifat Tuhan
Terdapat persamaan antara Al Asy’ari dan Al Maturidi tentang sifat Tuhan. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti bashar, sama’ dan sebagainya.
Akan tetapi pengertian sifat Tuhan Al Maturidi berbeda pendapat dengan Al Asy’ari. Al Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Paham Al Maturidi tentang makna sifat Tuhan hampir mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al Qiyamah ayat 22 dan 23. “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat”
Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru (hadis). kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.
Perbuatan tuhan dan perbuatan manusia
Aliran maturidiyah Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi. Tuhan pasti menepati janji-Nya seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.
Menurut Al Maturidi perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
Pengutusan Rosul
Pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkann sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Orang yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad saw dan sahabat itulah yang di sebut ahlussunnah wa al-jama’ah. Sedangkan orang yang menolak ajaran sahabat, tentu tidak masuk kategoti ahlussunnah wa al-jama’ah.
Ajaran ahlussunnah sendiri adalah apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada para Shahabat, setelah itu para Shahabat menyampaikan semua yang mereka dapatkan dari Rasul secara keseluruhan kepada penerusnya yaitu tabi’in, kemudian kepada tabi’it tabi’in.
Madzhab al-‘Asy’ari adalah madzhab teologis yang di nisbatkan kepada pendirinya, al-Imam Abu Al-Hasan al-‘Asy’ari. Madzhab ini diikuti manyoritas kaum muslimin Ahlussunnah Wa al-jama’ah dari dulu hingga saat kini. Manyoritas ulama dari berbagai kalangan seperti ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadist,ahli teologi, ahli bahasa, gramatika, sejarah dan lain-lainadalah pengikut madzhab al-‘Asy’ari.
Aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi.