Kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab Dan Seorang Pemuda Lusuh

Posted on

Kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab Dan Seorang Pemuda Lusuh

Suatu hari, Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba datanglah tiga orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.
Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata: “Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!
“Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai hukuman atas kejahatan pemuda ini!”.
Umar segera bangkit dan berkata: “Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?”
Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata:
Benar, wahai Amirul Mukminin.”
“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.”, kata Umar.
Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya:
Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan transaksi agar kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh dia (lelaki tua tadi). Ternyata dia adalah ayah dari kedua pemuda ini.
Pemuda yang ayahnya terbunuh berkata: “Wahai, Amirul Mukminin, kautelah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.
Tegakkanlah hukuman Allah atasnya!” timpal pemuda yang lain.
Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.
Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda saleh lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”, kata Umar.
Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayah kalian”, lanjutnya.
Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala,
Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.
Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.
Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata :
“Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah”, ujarnya dengan tegas.
“Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash.
Mana bisa begitu?”, kata kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.
Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?”, tanya Umar.
Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin.
“Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?”, pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.
“Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji.” kata Umar.
Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allahlah penjaminku wahai orang-orang beriman”, katanya.
Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang :
“Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin”.
Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.
“Salman?” Kata Umar marah.
Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini”.
Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, wahai Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya”, jawab Salman tenang.
Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.
Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.
Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang paling utama.
Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.
Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.
Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok lelaki berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit.
”Itu dia!” teriak Umar.
“Dia datang menepati janjinya!”.
Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.
”Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..” ujarnya dengan susah payah,
“Tak kukira… urusan kaumku… menyita… banyak… waktu…”.
”Kupacu… tungganganku… tanpa henti, hingga… ia sekarat di gurun… Terpaksa… kutinggalkan… lalu aku berlari dari sana..”
”Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum,
“Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya Umar.
”Akun kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan… di kalangan Muslimin… tak ada lagi ksatria… menepati janji…” kata si pemuda lusuh sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya :
“Lalu engkau, Salman, mengapa mau- maunya engkau menjamin orang yang baru saja kaukenal?
Kemudian Salman menjawab : “Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”.
Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru karena kejadian itu.
”Allahu Akbar!”, Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak.
“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu”.
Semua orang tersentak kaget.
“Kalian…” ujar Umar.
“Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.
Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana :
”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya”.
”Allahu Akbar!” teriak hadirin.
Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.
Kisah ini disebut dalam kitab I’laamun Naas Bi Ma Waqa’a Lil Baramikah.
Pos Terkait:  Perbedaan NPN dan PNP pada Transistor